Perang Diponegoro: Perlawanan Rakyat Jawa terhadap Kolonialisme Belanda

Setiap kali memperingati Hari Pahlawan yang jatuh di bulan November, kita diajak untuk memaknai perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang gigih melawan penjajah.

Salah satu potret kepahlawanan yang paling kuat dan menginspirasi adalah Perang Diponegoro.

Perjuangan Pangeran Diponegoro menjadi simbol keteguhan dan pengorbanan yang relevan dengan makna Hari Pahlawan.

Sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, Perang Diponegoro (1825-1830) melambangkan perlawanan rakyat Jawa terhadap kolonialisme Belanda.

Perang Diponegoro disebut juga sebagai Perang Jawa karena terjadi di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Diponegoro, seorang pangeran Jawa dari Kerajaan Yogyakarta sekaligus pemimpin yang religius, adalah sosok yang menggerakkan rakyat Jawa untuk melawan ketidakadilan dan penindasan Belanda.

 

Perang ini meninggalkan dampak yang mendalam, tidak hanya secara militer, tetapi juga secara sosial dan budaya.

Perang Diponegoro dipicu oleh intervensi Belanda dalam penobatan Pangeran Hamengkubuwono V yang dianggap terlalu muda menjadi raja, sehingga menimbulkan konflik internal di istana.

Selain itu, pemungutan pajak yang sangat tinggi oleh Belanda menjadi penyebab penderitaan bagi rakyat, membangkitkan kemarahan Pangeran Diponegoro.

Tjahjawulan (2017) dalam bukunya yang berjudul: “Peperangan dan Serangan” menjelaskan bahwa konflik mencapai puncaknya ketika Belanda melalui Residen Smissaert memerintahkan pembangunan tanda jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.

 

Perintah tersebut membuat pangeran murka karena dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai adat dan otoritas lokal.

Vira Maulisa Dewi (2020) dalam jurnalnya berjudul: “Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830” menyebutkan bahwa semakin tertindasnya rakyat dan semakin hilangnya kehormatan tradisi Jawa memperteguh keputusan Pangeran Dipenegoro untuk melawan Belanda.

Penangkapan Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi pada 20 Juli 1825 oleh dua serdadu Belanda di Tegalrejo menandai dimulainya Perang Diponegoro.

Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berhasil melarikan diri, tetapi rumahnya dihancurkan.

Mereka terus berpindah hingga akhirnya tiba di Gua Selarong, Bantul yang kemudian dijadikan sebagai markas besar mereka.

Dalam perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Sentot Ali Baharsyah Prawiradirja sebagai penasehat militer dan Kyai Mojo sebagai penasehat spiritual.

Perang Diponegoro melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari petani hingga kelas priyayi turut memberikan kontribusi baik berupa uang maupun barang untuk mendukung pendanaan perang.

 

Perang Diponegoro terkenal dengan taktik gerilyanya, yaitu peperangan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Hanya dalam waktu tiga minggu, Pangeran Diponegoro dan pasukannya melancarkan serangan dan berhasil merebut Istana Yogyakarta.

Kemenangan ini disusul dengan serangkaian keberhasilan di beberapa wilayah pada tahun-tahun awal Perang Diponegoro.

Perang semakin memanas pada tahun 1827 ketika Belanda mengirim 23.000 tentara untuk melawan Pangeran Diponegoro.

Belanda menerapkan taktik “Benteng Stelsel” dengan membangun benteng di lokasi strategis untuk membatasi pergerakan Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 melalui tipu daya yang dilakukan Belanda.

Ia dipanggil untuk bertemu Jenderal De Kock di Magelang dalam pembicaraan damai, namun ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga akhir hayatnya. Penangkapan ini menandai berakhirnya Perang Diponegoro.

 

Meski demikian, harumnya kisah perlawanan Pangeran Diponegoro terus dirasakan oleh semua rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.

Perang ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga identitas budaya dan melawan segala bentuk penindasan demi keadilan.

Semangat perjuangan yang ditunjukkan oleh Diponegoro menginspirasi generasi selanjutnya dalam membangun masa depan bangsa yang berakar pada budaya dan keadaban.

Nilai-nilai luhur Pangeran Diponegoro; keyakinan yang teguh, keberanian, dan semangat yang tak kenal menyerah; dapat diinterpretasikan oleh generasi muda dalam kehidupan saat ini.

Perjuangan saat ini bukanlah lagi tentang perang gerilya di hutan, melainkan tentang perang ide atau gagasan, perang melawan kemalasan, serta perang melawan ketidakadilan di sekitar kita.

Generasi muda harus mengasah integritas berpedoman pada agama, menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman, dan terus mengasah diri dengan ilmu pengetahuan di berbagai bidang.

Mari, kita buktikan bahwa kobaran semangat Pangeran Diponegoro masih menyala terang dalam dada, siap untuk berjuang mengharumkan nama bangsa di panggung dunia.

 

Penulis:

Aisyah Asy Syifaa Un Naajibah

Kelas XII

Asal : Kota Semarang

Artikel diatas dimuat pada https://www.rmoljawatengah.id/perang-diponegoro-perlawanan-rakyat-jawa-terhadap-kolonialisme-belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *